Kondisi itu bila hanya dibiarkan tanpa diproses, maka akan berisiko memperpendek usia TPA, sementara itu Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menegaskan tidak ada lagi pembangunan TPA pada Tahun 2030.
Melihat kondisi itu, maka dalam pikiran Suharyadi tidak ada jalan lain, selain memperkuat pengolahan sampah dari tingkat rumah tangga atau melalui TPS3R, sehingga dia terus berupaya mengedukasi masyarakat.
Baca Juga:
Didemo Warga, Pemkot Jakut Berjanji Tambah Armada Angkut Sampah di TPS3R Koja
Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, 1962, itu mendedikasikan diri dengan mengabdi menjaga keberlangsungan lingkungan melalui pemanfaatan teknologi. TPS3R yang mereka kelola juga turut berkontribusi terhadap prestasi Kota Palu sehingga mendapat penghargaan kota Adipura pertama kali pada 5 Maret Tahun 2024 dari KLHK.
Dalam pengelolaan lingkungan, TPS3R merupakan garda terdepan dan memiliki kredit poin yang cukup tinggi terhadap penilaian Adipura.
Keterbatasan sumber daya bukan menjadi penghalang bagi dirinya untuk berbuat. Karena itu, ia tidak pernah patah semangat untuk menggerakkan masyarakat lainnya dalam upaya mengelola sampah.
Baca Juga:
Pj Wali Kota Batu Aries Agung Paewai Titipkan Masalah untuk Pemimpin Selanjutnya
Tantangan
Menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan sampah bukan hal yang mudah. Dibutuhkan kemauan dan kerja keras, terutama mengubah pola pikir masyarakat terkait kebersihan. Terlebih dalam pembiayaan operasional TPS3R yang dijalankan.
Suharyadi mengaku orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan TPS3R semuanya adalah korban likuefaksi, yang secara ekonomi membutuhkan pekerjaan untuk menyabung hidup. Delapan petugas yang setiap hari mengolah sampah diberi insentif kurang lebih Rp300 ribu per orang per bulan. Dari jumlah itu, ada tenaga pemilah empat orang, operator armada kebersihan tiga orang dan operator quick traktor satu orang.