Kekhawatiran itu diungkap Harsono, berkaitan dengan permintaan dana hibah Rp4 miliar oleh Kejati kepada Pemprov Sulteng guna pembangunan klinik mewah di tengah efisiensi anggaran,
Anggaran tersebut melekat di Dinas Cipta Karya Sumber Daya Air (Cikasda) tahun 2025 yang sedianya diperuntukan membangun kebutuhan dasar masyarakat seperti jalan lingkungan dan irigasi untuk ketahanan pangan.
Baca Juga:
Penandatangan Nota Kesepakatan RJ Kejati dan Kejari Kabupaten Kota dengan Gubernur dan Bupati / Walikota se-Sulteng
Namun Pemprov justru prioritaskan membangun klinik mewah Kejati Sulteng di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Besusu Tengah, Kecamatan Palu Timur.
Padahal kata Harsono, banyak belanja publik yang sangat mendesak terpaksa harus ditunda karena alasan efisiensi anggaran,
“Efesiensi anggaran hanya berlaku bagi kebutuhan masyarakat tapi tidak berlaku bagi permintaan pasilitas penegak hukum, mungkin saja Pemprov takut menolak permintaan itu karena mereka banyak masalah dugaan korupsi yang sedang ditangani oleh Kejati Sulteng,”ungkapnya.
Baca Juga:
Imbas Demo Masih Lanjut, Pemprov DKI Jakarta Edarkan Surat Imbauan WFH
Kebijakan Pemprov dan Kejati Sulteng itu sangat melukai rasa keadilan di tengah kesulitan akibat besarnya beban pajak yang harus ditanggung masyarakat, Namun ironisnya hanya dipergunakan untuk membiayai fasilitas mewah pejabat negara termasuk penegak hukum.
“Seharusnya Kejati Sulteng fokus mengawasi pengelolaan APBD sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo, bukan malah sibuk meminta minta hibah kepada pemerintah daerah untuk membiayai fasilitas mewah,” tegas Harsono.
Selanjutnya Harsono, menuturkan bahwa pembagunan klinik mewah Kejati Sulteng ini ibarat tiba masa tiba akal, sebab tidak direncanakan jauh hari sebelumnya, sementara banyak kebutuhan masyarakat yang sudah di ajukan sejak setahun sampai 3 tahun belum di akomodir.