WahanaNews-Sulteng | Konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) atau Program Dedieselisasi menarik minat sejumlah pelaku usaha.
Seperti melansir dari Kontan.co.id, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN, Gregorius Adi Trianto mengatakan, sudah terdapat sebanyak 41 perusahaan yang berminat dan mengajukan dokumen request for proposal (RfP) untuk Program Dedieselisasi di dua klaster, yakni Klaster Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Madura, serta Klaster Sulawesi, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
“Dedieselisasi tahap awal direncanakan sekitar 116 Megawatt (MW), yang dibagi menjadi dua klaster yakni Klaster Sumatera, Kalimantan, Jawa, Madura dan Klaster Sulawesi, Maluku, Papua & Nusa Tenggara dengan target Commercial Operation Date (COD) di tahun 2027,” terang Gregorius kepada Kontan.co.id, Rabu (26/4/2023).
Sedikit informasi, mengutip siaran pers PLN bernomor No. 148.PR/STH.00.01/III/2022 yang dirilis Maret tahun 2022 lalu, PT PLN (Persero) melakukan program dedieselisasi atau konversi sekitar 5.200 pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang saat ini masih beroperasi di sejumlah wilayah, khususnya di wilayah terpencil.
PLTD-PLTD tersebut nantinya akan dikonversi ke pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT), pembangkit gas, maupun integrasi dengan grid nasional. Tujuannya ialah untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan bauran energi bersih.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Sebelumnya, sumber anonim Kontan.co.id mengatakan bahwa lelang proyek ini minim peminat. Sementara itu, dihubungi terpisah, Fabby Tumiwa yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dan juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan bahwa kapasitas yang dikerjasamakan dalam program konversi PLTD tersebar dan terlalu kecil.
Selain itu, ada pula pertimbangan soal ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik alias Power Purchasing Agreement (PPA) serta sebaran lokasi proyek dalam program ini yang turut menjadi perhatian calon investor/pelaku usaha.
“Kapasitas tersebar terlalu kecil, terms PPA tidak menarik & lokasi tersebar membuat risiko tinggi. Buat investor, perlu ada skala keekonomian yang memadai,” tutur Fabby saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (25/4).