WahanaNews-Sulteng | Posko Pengaduan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Palu, Jl KH Ahmad Dahlan, Kecamatan Palu Timur mendadak didatangi Agustin, ibu dari Ahmad Alfarabi (22).
Ahmad merupakan korban terkaman buaya saat beraktivitas di Sungai Marawola yang sampai saat ini menjalani perawatan di RS Samaritan Palu.
Baca Juga:
DPC PERADI Kabupaten Bogor 2024-2028 Dilantik Luhut M.P. Pangaribuan
Paha dan betis Ahmad Alfarabi mengalami luka robek.
Tujuan kedatangan Agustin yang merupakan warga Desa Tinggede Selatan, Kecamatan Marawola ini untuk mengajukan gugatan.
Wakil Koordinator Humas dan Kerjasama Antarlembaga DPC Peradi Palu Natsir Said menerima pengaduan gugatan ini.
Baca Juga:
Prof Otto Hasibuan Komprehensif Bahas Pentingnya Single Bar di Depan Ketua MA
Saat ini pihaknya masih merumuskan langkah hukumnya.
"Segera kita ajukan gugatan perdata jika dokumen sudah lengkap," kata Natsir dilansir dari TribunPalu.com, Rabu (2/8/2023).
Dia menjelaskan, kasus yang menimpa putra Agustin itu masuk perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige daad.
Pemerintah provinsi dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah diduga melakukan pembiaran sehingga melanggar Hak Asasi Manusia.
"Arahnya ke situ. Tapi sementara disusun rumusan hukumnya," tutur Natsir.
Dia menjelaskan, Hak Asasi Manusia itu terdiri dari Sipol dan Ekosop.
Hak Sipol adalah hak untuk diperlakukan sama di depan hukum, dan hak untuk tidak dibunuh atau disiksa, sementara hak Ekosop singkatan dari ekonomi, sosial dan budaya.
Hak Ekosop meliputi hak atas pendidikan, hak atas perumahan, hak atas standar hidup yang layak, hak kesehatan, hak atas lingkungan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya.
"Yang dilanggar pemerintah adalah Hak Ekosop.
Masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sungai menjadi terbatas akses ekonominya karena pembiaran itu," turut Natsir.
Pembiaran dalam konteks aduan keluarga korban itu karena selama ini pemerintah, Pemprov dan BKSDA Sulteng tidak melakukan upaya atas maraknya korban serangan buaya.
"Selama ini pemerintah hanya memasang papan bicara terkait keberadaaan buaya sementara warga bergantung hidup di sungai.
Mestinya ada upaya ekstra terhadap buaya itu agar manusia juga bisa beraktivitas di sungai," jelas Natsir.
Respon BKSDA Sulawesi Tengah
Sementara itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah merespon.
BKSDA mengalami dilema dalam penanganan buaya.
Plt BKSDA Sulteng Mulyadi Joyomartono menyebutkan, tugas BKSDA Sulteng adalah penyelenggaraan konservasi sumber daya alam yang ekosistemnya di cagar alam, suaka marga satwa, taman wisata alam dan taman buru.
BKSDA Sulteng juga harus memberikan perlindungan/konservasi jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi peraturan.
"Persoalan ini memang kompleks karena kejadiannya berada dalam habitat asli dari Buaya tersebut," kata Mulyadi kepada TribunPalu.com di ruang kerjanya, Rabu (2/8/2023).
BKSDA, kata dia selain mengelola suaka marga satwa, cagar alam kami hanya mempunyai fungsi perlindungan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi. Ini memang menjadi dilema tersendiri karena Buaya itu dilindungi sesuai dengan PP Nomor 7 Tahun 1999.
Sebelumnya, Ahmad Alfarabi yang sehari-hari bekerja mengatur pipa mesin sedot pasir di dasar sungai diterkam Buaya.
Usai terlepas dari terkaman Buaya, AA bergegas keluar dari sungai.
AA keluar dari sungai dengan kondisi kaki berlumur darah.[ss]