Sulteng.WahanaNews.co, Kota Palu - Perihal alokasi proyek Pokok-Pokok Pikiran (pokir) Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah ( Dewan Sulteng) yang lintas daerah pemilihan (dapil) dan digunakan untuk biaya perjalanan aparatur sipil negara (ASN) menjadi sorotan.
Timbul, perbedaan pendapat antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Anggota Dewan Sulteng, seperti pendapat Sonny Tandra dari Fraksi Nasdem soal alokasi pokir di luar dapil.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
”‘Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 yang mengatur tentang pokir DPRD sasarannya harus berdasarkan hasil reses di dapil masing-masing anggota legislatif,” jawab Ketua Tim Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah IV Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepada WahanaNews.co, Senin (6/11/2023).
Alokasi pokir lintas dapil ini, juga tak sesuai arahan KPK di Rapat Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi Terintegrasi (Korsupgah) pada kegiatan koordinasi program pemberantasan korupsi, saat pertemuan koordinasi dengan seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) di Kantor Gubernur Sulteng, Basuki Haryono medio Agustus 2023.
Sebaliknya, Sony Tandra berpendapat KPK salah menafsirkan regulasi, jika hanya berdasarkan Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah dalam Pasal 78, 178, dan 238 (2).
Baca Juga:
Skandal e-KTP Memanas Lagi, Dua Tersangka Baru Muncul
Hal ini disampaikan Tandra menanggapi ada alokasi pokirnya untuk perbaikan bilik kakus di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata, Sulteng di Kota Palu dengan nilai Rp170 juta.
“Padahal ada peraturan pemerintah (PP) yang lebih tinggi, yaitu PP Nomor 12 Tahun 2018 dan UU No 23. Siapa bilang, KPK harus baca PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang pedoman, begitu pula UU no 23. Disitu sangat jelas tertulis bahwa DPR memperjuangkan aspirasi masyarakat,” sanggah Sonny, tidak mendetailkan PP dan UU 23 tahun berapa, Kamis (23/11/2023).
Menanggapi dalih Sonny Tandra bahwa boleh anggota legislatif (aleg) menerima dan menganggarkan untuk proyek lintas dapil–dengan alasan diantaranya–tidak ada aleg dari dapil tertentu! Dijawab oleh Basuki Haryono, yaitu boleh diterima aspirasi dari dapil lain selain dapil aleg, akan tetapi dititipkan kepada aleg lain yang berdapil setempat.
“Soal pokir lintas dapil? Berkait jika ada aspirasi dari dapil lain tetap diterima oleh aleg itu, dan selanjutnya disampaikan atau dititipkan kepada anggota DPRD yang mempunyai dapil tersebut,” sanggah Basuki Haryono kepada wahananews.co melalui telepon, Kamis (23/11/2023).
Nilai Tandra, KPK salah mengerti dengan mengatakan Pokir DPRD tidak diperbolehkan lintas dapil.
“Tetapi, terus mau bagaimana lagi kita, kalau KPK sudah membatasi kami," keluh Sonny.
Menurut Sonny Tandra, ia dan sejawat DPRD Sulteng pernah menanyakan soal aturan pokir ini saat mengikuti audiensi di kementerian dalam negeri beberapa bulan lalu.
“Bahkan, PP Nomor 12 lebih jelas lagi, aspirasi masyarakat ditangkap lewat reses, kunjungan kerja, pengaduan masyarakat, bisa datang ke kantor DPR, bisa demo, bahkan bisa lewat WhatsApp,” ungkap Sonny Tandra politisi Partai Nasdem dai dapil Sulteng V di lima kabupaten, yakni Poso, Tojo Una Una, Morowali, dan Morowali Utara.
Lebih lanjut, Tandra berpendapat bahwa KPK membatasi peran dan pengabdian legislator dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat lintas dapil.
“Saya ke titik sikap bahwa KPK membatasi kami Memperjuangkan aspirasi masyarakat lintas dapil, sehingga dapat berdampak kurang baik terhadap kinerja kami sebagai wakil rakyat Sulteng. “Karena kami bisa dianggap tidak efektif bekerja,” dalih Sonny.
Menurut Sonny, DPRD tidak boleh dibatasi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat sebatas dapil saja.
Ia pun, memberikan contoh ketika memperjuangkan Dapil Tolitoli Buol lantara di Komisi III yang ia pimpin itu tidak ada anggota DPRD.
“Kebetulan saya adalah Ketua Komisi III, dan tidak ada anggota DPRD dari Tolitoli Buol di komisi saya. Lalu, apakah saya tidak bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat Tolitoli Buol?” ucap Sonny dengan nada retorik.
“Tetapi, memang kami diharuskan lebih fokus bekerja dan memperjuangkan aspirasi konstituen dapil kami,” aku Sonny
Selanjutnya, politisi Partai Nasdem itu menjelaskan muasal dana aspirasinya masuk ke RSUD Undata.
"Awalnya ada warga konstituen saya yang dari Poso pulang berobat dari RSUD Undata. Dia mengeluh mengatakan WC RSUD Undata sangat jorok. Begitu pula yang disampaikan Herry Mulyadi saat dilantik sebagai Direktur Utama RSUD Undata. Ia mohon kepada saya supaya dibantu memperjuangkan anggaran termasuk WC, AC, bahkan ruang ICU yang sangat terbatas. Atas dasar itulah saya memperjuangkan anggaran karena itu adalah hak saya juga sebagai aleg DPRD Sulteng” tutur Sonny tandra.
KPK Tanggapi Sonny Tandra
Pendapat Sonny Tandra ditanggapi Ketua Tim Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah IV Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basuki Haryono.
Haryono berpendapat, semua regulasi pemerintah saling mendukung, seperti Permendagri 86 Tahun 2017 tentang Perencanaan Pengawasan Dan Evaluasi Pembangunan Daerah, maupun PP No 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat. Daerah Provinsi, Kabupaten, Dan Kota, dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Literasi, ada UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ulas Haryono, semua regulasi yang disebutkan Tandra, tidak menjadi perdebatan lantaran saling mendukung. Semua itu harus dijadikan pedoman dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang menjadi acuan menetapkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) atau, disebut juga sebagai rencana kerja tahunan daerah.
“terkait Pokir DPRD semuanya masuk sebagai usulan yang diajukan satu minggu sebelum musrenbang. Kemudian, diverifikasi berdasarkan RPJMD dan skala prioritas berdasar anggaran yg tersedia. Dan, setelah RKPD maka pelaksanaan sepenuhnya menjadi kewenangan OPD teknis, bukan lagi sebagai pokir tetapi sebagai kinerja dari OPD tersebut,” terang Basuki, Rabu (14/11/2023).
Selanjutnya, sebut Haryono, DPRD sebagai pengawas saja tidak menjadi faktor pelaksana pokir.
“Teman-teman Anggota DPRD tinggal mengawasi prosesnya. Proses pengadaan pun menjadi kewenangan Pemda, apakah itu dilakukan proses lelang atau PL atau swakelola untuk efisiensi dan keefektifan dengan dilakukan konsolidasi” kata Basuki.
Basuki Haryono kembali menegaskan bahwa ia setuju apa yang dikatakan Sonny Tandra berrkait UU Nomor 23 Tahun 2014 itu, bahwa aleg diperbolehkan mengajukan aspirasi pokir sebanyak-banyaknya, tetapi kewenangan aleg hanya sebatas mengusulkan dan mengawasi saja.
“Namun, saya tidak setuju dengan pernyataan bahwa pokir hak kelola oleh masing-masing aleg, karena tidak ada regulasi yang mengatur itu. Jika menemukan cukup bukti pelanggaran dalam pelaksanaan silahkan laporkan kepada APH setempat berdasarkan sumpah dan janji anggota Dewan yang diatur pada Peraturan Tata Tertib Pimpinan DPRD Sulteng No. 1/2019 pasal 89,” dalil Basuki.
[Redaktur: Hendrik Isnaini Raseukiy]